Ditulis Oleh : Dian Mardhika, S.Pd.
CGP Angkatan 7 Kab. Kotabaru
Pemikiran
Reflektif Terkait Pengalaman Belajar
Materi Pembelajaran yang baru saya peroleh dari Modul 2.3 ini
adalah saya belajar tentang Coaching Untuk Supervisi Akademik. Coaching adalah
sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil,
dan dilakukan secara sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan performa
kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi coachee
(Grant, 1999). Jadi tujuan coaching ini adalah untuk menuntun coachee menemukan
ide baru atau cara untuk mengatasi tantangan yang dihadapi atau mencapai tujuan
yang dikehendaki.
Dalam melaksanakan praktik
coaching ada paradigma berpikir dan prinsip coaching yang saya pelajari. Adapun
paradigma berpikir coaching antara lain:
1. Fokus pada coachee/rekan
yang akan dikembangkan
2. Bersikap terbuka dan ingin
tahu
3. Memiliki kesadaran diri
yang kuat
4. Mampu melihat peluang baru
dan masa depan
Sejalan dengan hal di atas, ada beberapa prinsip coaching yang saya pelajari dalam modul ini antara lain:
1. Kemitraan (posisi coach dan coachee setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah)
2. Proses Kreatif (percakapan dilakukan dua arah, memicu proses berpikir coachee, menggali ide baru)
3. Memaksimalkan Potensi (diakhiri dengan rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh coachee)
Selain paradigma berpikir dan prinsip coaching, saya juga mempelajari tentang kompetensi inti coaching yang harus dimiliki oleh seorang coach. Kompetensi inti tersebut antara lain:
1. Kehadiran Penuh/Presence
2. Mendengarkan Aktif
3. Mengajukan Pertanyaan
Berbobot
Dalam melaksanakan percakapan coaching, bisa digunakan alur percakapan TIRTA . Istilah ini adalah akronim dari Tujuan Utama, Identifikasi, Rencana Aksi, Tanggung Jawab
Ketika mempelajari Modul 2.3 ini, saya merasa tertarik dan senang karena ada sebuah pengetahuan baru yang saya dapatkan. Selama ini saya hanya mengetahui tentang supervisi yang dilakukan di sekolah tanpa pendekatan berbasis coaching. Saya sangat tertarik untuk mengaplikasikannya dalam kelas saya kepada murid maupun rekan sejawat. Hal ini tentu sangat membantu karena dari pengalaman yang ada, banyak murid yang perlu mendapatkan pendampingan dan pemberdayaan sebagai wujud keberpihakan guru terhadap murid.
Dalam kegiatan belajar tentang
coaching dan berlatih melakukan percakapan coaching dengan alur TIRTA, saya
sudah bisa mempraktikkan dengan baik. Tahapan dalam percakapan alur TIRTA bisa
saya lakukan dengan cukup baik. Meskipun dalam hal membuat pertanyaan berbobot
dalam tahap identifikasi, saya masih perlu banyak berlatih agar semakin lancar
dan bisa menggali potensi coachee yang saya dampingi.
Setelah mempelajari dan mempraktikkan percakapan coaching dengan alur TIRTA dalam Modul 2.3 ini, saya merasa kompetensi coaching yang
saya miliki semakin bertumbuh, saya telah menemukan sebuah metode yang sangat baik untuk
mengembangkan dan memberdayaakan potensi murid saya pada khususnya dan berharap
bisa membantu rekan sejawat untuk menggali potensi diri dengan lebih baik lagi.
Implementasi Coaching
Setelah belajar
konsep coaching, muncul pertanyaan dalam diri saya. Apakah coaching ini akan
berdampak terhadap peningkatan kualitas pembelajaran? Ya, saya optimis bahwa
coaching akan memberikan dampak positif terhadap kualitas pembelajaran di kelas saya. Hal ini
dikarenakan paradigma coaching adalah pemberdayaan. Bisa kita lihat bagaimana
bila murid kita dengan segudang potensi dalam dirinya bisa diberdayakan. Tentu sekolah akan
menjadi tempat yang menyenangkan bagi murid-murid untuk berkembang dan berprestasi sesuai kodratnya
masing-masing.
Coaching sejalan
dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Menurut beliau tujuan
pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga
dapat memperbaiki lakunya. Guru berperan sebagai ‘pamong’ dalam memberi
tuntunan dan memberdayakan potensi agar murid tidak kehilangan arah dan
menemukan kekuatan dirinya. Oleh sebab itu, keterampilan coaching perlu
dimiliki para guru untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) muridnya
agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota
masyarakat.
Dengan kemampuan
coaching yang dimiliki oleh seorang guru, saya percaya pemberdayaan di
lingkungan sekolah akan berjalan dengan baik. Dengan proses kolaborasi antara
semua stake holder di lingkungan sekolah maka akan tercipta ekosistem
pendidikan yang luar biasa. Apalagi jika kemampuan coaching ini dimiliki oleh
seorang supervisor, maka supervisi akademik yang dilakukan di sekolah akan
menjadi sebuah kebutuhan bagi guru maupun murid untuk melihat potensi diri agar bisa memberdayakan
lingkungan sekitarnya.
Supervisi akademik tidak
lagi menjadi momok bagi guru. Apalagi selama ini kegiatan supervisi hanya dilakukan dengan fokus
pada kegiatan admisnistrasi saja. Supervisi akademik berbasis coaching akan menjadi
aktivitas yang menantang dan menyenangkan karena guru merasa diberdayakan
potensinya bukan malah dicari-cari kesalahannya. Hal ini pasti akan berdampak
terhadap kualitas pembelajaran di kelas. Bila guru merasa dihakimi dan
dipersalahkan atas kinerja mengajarnya maka potensi guru akan semakin menurun karena hilangnya rasa
percaya diri sebagai pemimpin pembelajaran di kelas. Akan tetapi bila guru merasa
diberdayakan dan didukung untuk memaksimalkan potensinya maka akan tumbuh
kreatifitas dan suasana yang positif antara murid dengan guru, guru dengan
guru, maupun guru dengan kepala sekolah yang akan menciptakan suasana sekolah yang nyaman dan kondusif.
Dalam
pelaksanaan coaching di lapangan, tentu akan timbul tantangan yang berbeda
antara tingkat sekolah satu dengan tingkat sekolah yang lain. Begitu juga
antara daerah satu dengan daerah yang lain. Sekolah saya adalah
sekolah tingkat menengah atas. Tentu memiliki tantangan yang lebih kompleks,
ditambah lagi sekolah tempat saya mengajar ini terletak di daerah pesisir yang masyarakatnya
terdiri dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Di lingkungan sekolah saya memiliki potensi putus sekolah
yang besar bila murid-murid yang bermasalah tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang lebih dari warga sekolah.
Dengan potensi
masalah dan potensi putus sekolah yang cukup besar maka coaching bisa menjadi
solusi bagi masalah tersebut. Apabila tercipta kolaborasi dari para guru yang memiliki
kompetensi coaching, maka hal tersebut bisa menjadi salah satu kompetensi yang mampu mencegah potensi negatif yang mungkin terjadi di lingkungan sekolah. Guru yang memiliki pola
pikir bertumbuh dan kompetensi coaching akan mampu menciptakan komunikasi
positif yang “menuntun” para murid agar fokus pada potensi mereka, fokus pada
solusi di saat mereka mendapatkan masalah. Dengan pemberdayaan seperti ini,
saya optimis segala tantangan yang muncul bisa diatasi bersama-sama.
Keterkaitan Pengalaman dan Pengetahuan
Pengalaman saya
di masa lalu melihat supervisi akademik adalah sebuah evaluasi tanpa umpan
balik. Kegiatan yang hanya berfokus pada persoalan administrasi dan kekurangan
guru dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Hal ini membuat supervisi
akademik menjadi momok yang menakutkan bagi guru. Hasil evaluasi yang cenderung
mencari kesalahan dan mengungkap kelemahan guru dalam mengajar justru membuat
guru merasa tidak percaya diri menjadi pemimpin pembelajaran di kelas.
Di samping itu,
saya mempunyai pengalaman bahwa coaching juga sangat dibutuhkan oleh
murid. Banyak murid yang perlu
mendapatkan tempat untuk mereka bisa melihat potensi di dalam diri mereka secara
jelas. Apalagi anak-anak usia remaja masih dalam proses pencarian jati
diri mereka. Saya pernah mempunyai beberapa orang murid dari pulau kecil yang
jauh dari pusat kota. Mereka berasal dari keluarga golongan ekonomi bawah. Namun mereka memiliki impian untuk sekolah sampai tingkat tinggi. Dengan pendampingan
dan komunikasi yang positif yang saya dan rekan guru berikan, mereka bisa menemukan potensi dirinya dan membuat
strategi untuk mewujudkan impiannya hingga semua terwujud. Mereka bisa kuliah dan
menjadi sarjana lewat jalur beasiswa Bidikmisi. Hal ini membuktikan dengan coaching,
murid saya yang menjadi coachee bisa membuat tujuan masa depannya dan mengatasi
tantangan yang mucul dengan mencari solusi terhadap permasalahannya.
Di masa
mendatang, setelah melihat pengalaman masa lalu dan pengalaman belajar saat
ini, saya akan menerapkan kompetensi coaching yang sudah saya pelajari dan saya praktikkan untuk
memberdayakan potensi murid saya dengan lebih sistematis. Selain itu, saya juga akan
mencoba melakukan pemberdayaan rekan sejawat yang perlu difasilitasi dengan
praktik coaching untuk mencari solusi dari permasalahan pembelajaran yang
seringkali muncul di kelas. Tentu dengan menggerakkan semua warga sekolah untuk
bisa berkolaborasi maka tantangan yang timbul di masa mendatang akan mampu
dilewati dengan baik.
Pemberdayaan
murid maupun rekan sejawat ini adalah bentuk keberpihakan guru terhadap murid
dan salah satu peran guru penggerak sebagai coach bagi guru lain. Selain itu, dalam Modul
2.1 tentang Pembelajaran Berdiferensiasi, coaching adalah salah satu bentuk
komunikasi yang bisa dibangun dalam kelompok kecil yang memerlukan perhatian khusus agar
terpenuhi kebutuhan belajar individunya. Pendampingan dan pemberdayaan individu
yang memerlukan pendekatan khusus akan terlayani dengan kegiatan coaching ini.
Sejalan dengan
hal tersebut di atas, coaching juga
sangat erat kaitannya dengan Modul 2.2 tentang Pembelajaran Sosial Emosional (PSE).
Menumbuhkan Kompetensi Sosial Emosional (KSE) terhadap murid juga akan sangat
berdampak bila digunakan dengan paradigma coaching. Seperti halnya kesadaran penuh
(mindfulness) bisa digunakan oleh coach maupun coachee agar dalam kondisi hadir sepenuhnya (presence) saat melakukan percakapan coaching sehingga proses pemberdayaan dan
penggalian potensi bisa berjalan dengan baik.
Dalam sebuah
jurnal di
https://primary.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPFKIP/article/view/9189 memuat
hasil penelitian yang dilakukan Erik Wahyudi dkk, di dalam jurnal tersebut
memuat sebuah penelitian tentang supervisi akademik berbasis coaching MORTITAR
yang merupakan akronim dari Mitra, Orientasi, Tujuan, Identifikasi, Rencana
Aksi, Tanggung Jawab, Refleksi yang hampir serupa dengan coaching dengan alur
TIRTA. Adapun hasilnya menunjukkan adanya peningkatan kinerja pembelajaran guru
SD di Kecamatan Nalumsari Kabupaten Jepara. Oleh karena itu, supervisi akademik
berbasis coaching merupakan sebuah praktik baik yang bisa diterapkan dalam
dunia pendidikan.
0 comments:
Post a Comment