Thursday, March 30, 2023

Koneksi Antarmateri - Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

Ditulis Oleh : Dian Mardhika, S.Pd.

CGP Angkatan 7 Kab. Kotabaru

 

Pemikiran Reflektif Terkait Pengalaman Belajar

Materi Pembelajaran yang baru saya peroleh dari Modul 2.3 ini adalah saya belajar tentang Coaching Untuk Supervisi Akademik. Coaching adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil, dan dilakukan secara sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi coachee (Grant, 1999). Jadi tujuan coaching ini adalah untuk menuntun coachee menemukan ide baru atau cara untuk mengatasi tantangan yang dihadapi atau mencapai tujuan yang dikehendaki.

Dalam melaksanakan praktik coaching ada paradigma berpikir dan prinsip coaching yang saya pelajari. Adapun paradigma berpikir coaching antara lain:

1.   Fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan

2.   Bersikap terbuka dan ingin tahu

3.   Memiliki kesadaran diri yang kuat

4.   Mampu melihat peluang baru dan masa depan

         Sejalan dengan hal di atas, ada beberapa prinsip coaching yang saya pelajari dalam modul ini antara lain:

1.   Kemitraan (posisi coach dan coachee setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah)

2.   Proses Kreatif (percakapan dilakukan dua arah, memicu proses berpikir coachee, menggali ide baru)

3.   Memaksimalkan Potensi (diakhiri dengan rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh coachee)

         Selain paradigma berpikir dan prinsip coaching, saya juga mempelajari tentang kompetensi inti coaching yang harus dimiliki oleh seorang coach. Kompetensi inti tersebut antara lain:

1.   Kehadiran Penuh/Presence

2.   Mendengarkan Aktif

3.   Mengajukan Pertanyaan Berbobot

 

        Dalam melaksanakan percakapan coaching, bisa digunakan alur percakapan TIRTA . Istilah ini adalah akronim dari Tujuan Utama, Identifikasi, Rencana Aksi, Tanggung Jawab

Sumber: Modul CGP Sub Pembelajaran 2.3 Alur TIRTA

         Ketika mempelajari Modul 2.3 ini, saya merasa tertarik dan senang karena ada sebuah pengetahuan baru yang saya dapatkan. Selama ini saya hanya mengetahui tentang supervisi yang dilakukan di sekolah tanpa pendekatan berbasis coaching. Saya sangat tertarik untuk mengaplikasikannya dalam kelas saya kepada murid maupun rekan sejawat. Hal ini tentu sangat membantu karena dari pengalaman yang ada, banyak murid yang perlu mendapatkan pendampingan dan pemberdayaan sebagai wujud keberpihakan guru terhadap murid.

               Dalam kegiatan belajar tentang coaching dan berlatih melakukan percakapan coaching dengan alur TIRTA, saya sudah bisa mempraktikkan dengan baik. Tahapan dalam percakapan alur TIRTA bisa saya lakukan dengan cukup baik. Meskipun dalam hal membuat pertanyaan berbobot dalam tahap identifikasi, saya masih perlu banyak berlatih agar semakin lancar dan bisa menggali potensi coachee yang saya dampingi.

               Setelah mempelajari dan mempraktikkan percakapan coaching dengan alur TIRTA dalam Modul 2.3 ini, saya merasa kompetensi coaching yang saya miliki semakin bertumbuh, saya telah menemukan sebuah metode yang sangat baik untuk mengembangkan dan memberdayaakan potensi murid saya pada khususnya dan berharap bisa membantu rekan sejawat untuk menggali potensi diri dengan lebih baik lagi.

 Implementasi Coaching

             Setelah belajar konsep coaching, muncul pertanyaan dalam diri saya. Apakah coaching ini akan berdampak terhadap peningkatan kualitas pembelajaran? Ya, saya optimis bahwa coaching akan memberikan dampak positif terhadap kualitas pembelajaran di kelas saya. Hal ini dikarenakan paradigma coaching adalah pemberdayaan. Bisa kita lihat bagaimana bila murid kita dengan segudang potensi dalam dirinya bisa diberdayakan. Tentu sekolah akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi murid-murid untuk berkembang dan berprestasi sesuai kodratnya masing-masing.

        Coaching sejalan dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Menurut beliau tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Guru berperan sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya. Oleh sebab itu, keterampilan coaching perlu dimiliki para guru untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) muridnya agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat.

            Dengan kemampuan coaching yang dimiliki oleh seorang guru, saya percaya pemberdayaan di lingkungan sekolah akan berjalan dengan baik. Dengan proses kolaborasi antara semua stake holder di lingkungan sekolah maka akan tercipta ekosistem pendidikan yang luar biasa. Apalagi jika kemampuan coaching ini dimiliki oleh seorang supervisor, maka supervisi akademik yang dilakukan di sekolah akan menjadi sebuah kebutuhan bagi guru maupun murid untuk melihat potensi diri agar bisa memberdayakan lingkungan sekitarnya.

         Supervisi akademik tidak lagi menjadi momok bagi guru. Apalagi selama ini kegiatan supervisi hanya dilakukan dengan fokus pada kegiatan admisnistrasi saja. Supervisi akademik berbasis coaching akan menjadi aktivitas yang menantang dan menyenangkan karena guru merasa diberdayakan potensinya bukan malah dicari-cari kesalahannya. Hal ini pasti akan berdampak terhadap kualitas pembelajaran di kelas. Bila guru merasa dihakimi dan dipersalahkan atas kinerja mengajarnya maka potensi guru akan semakin menurun karena hilangnya rasa percaya diri sebagai pemimpin pembelajaran di kelas. Akan tetapi bila guru merasa diberdayakan dan didukung untuk memaksimalkan potensinya maka akan tumbuh kreatifitas dan suasana yang positif antara murid dengan guru, guru dengan guru, maupun guru dengan kepala sekolah yang akan menciptakan suasana sekolah yang nyaman dan kondusif.

        Dalam pelaksanaan coaching di lapangan, tentu akan timbul tantangan yang berbeda antara tingkat sekolah satu dengan tingkat sekolah yang lain. Begitu juga antara daerah satu dengan daerah yang lain. Sekolah saya adalah sekolah tingkat menengah atas. Tentu memiliki tantangan yang lebih kompleks, ditambah lagi sekolah tempat saya mengajar ini terletak di daerah pesisir yang masyarakatnya terdiri dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Di lingkungan sekolah saya memiliki potensi putus sekolah yang besar bila murid-murid yang bermasalah tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang lebih dari warga sekolah.

        Dengan potensi masalah dan potensi putus sekolah yang cukup besar maka coaching bisa menjadi solusi bagi masalah tersebut. Apabila tercipta kolaborasi dari para guru yang memiliki kompetensi coaching, maka hal tersebut bisa menjadi salah satu kompetensi yang mampu mencegah potensi negatif yang mungkin terjadi di lingkungan sekolah. Guru yang memiliki pola pikir bertumbuh dan kompetensi coaching akan mampu menciptakan komunikasi positif yang “menuntun” para murid agar fokus pada potensi mereka, fokus pada solusi di saat mereka mendapatkan masalah. Dengan pemberdayaan seperti ini, saya optimis segala tantangan yang muncul bisa diatasi bersama-sama.

Keterkaitan Pengalaman dan Pengetahuan  

        Pengalaman saya di masa lalu melihat supervisi akademik adalah sebuah evaluasi tanpa umpan balik. Kegiatan yang hanya berfokus pada persoalan administrasi dan kekurangan guru dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Hal ini membuat supervisi akademik menjadi momok yang menakutkan bagi guru. Hasil evaluasi yang cenderung mencari kesalahan dan mengungkap kelemahan guru dalam mengajar justru membuat guru merasa tidak percaya diri menjadi pemimpin pembelajaran di kelas.

        Di samping itu, saya mempunyai pengalaman bahwa coaching juga sangat dibutuhkan oleh murid.  Banyak murid yang perlu mendapatkan tempat untuk mereka bisa melihat potensi di dalam diri mereka secara jelas. Apalagi anak-anak usia remaja masih dalam proses pencarian jati diri mereka. Saya pernah mempunyai beberapa orang murid dari pulau kecil yang jauh dari pusat kota. Mereka berasal dari keluarga golongan ekonomi bawah. Namun mereka memiliki impian untuk sekolah sampai tingkat tinggi. Dengan pendampingan dan komunikasi yang positif yang saya dan rekan guru berikan, mereka bisa menemukan potensi dirinya dan membuat strategi untuk mewujudkan impiannya hingga semua terwujud. Mereka bisa kuliah dan menjadi sarjana lewat jalur beasiswa Bidikmisi. Hal ini membuktikan dengan coaching, murid saya yang menjadi coachee bisa membuat tujuan masa depannya dan mengatasi tantangan yang mucul dengan mencari solusi terhadap permasalahannya.

        Di masa mendatang, setelah melihat pengalaman masa lalu dan pengalaman belajar saat ini, saya akan menerapkan kompetensi coaching yang sudah saya pelajari dan saya praktikkan untuk memberdayakan potensi murid saya dengan lebih sistematis. Selain itu, saya juga akan mencoba melakukan pemberdayaan rekan sejawat yang perlu difasilitasi dengan praktik coaching untuk mencari solusi dari permasalahan pembelajaran yang seringkali muncul di kelas. Tentu dengan menggerakkan semua warga sekolah untuk bisa berkolaborasi maka tantangan yang timbul di masa mendatang akan mampu dilewati dengan baik.

        Pemberdayaan murid maupun rekan sejawat ini adalah bentuk keberpihakan guru terhadap murid dan salah satu peran guru penggerak sebagai coach bagi guru lain. Selain itu, dalam Modul 2.1 tentang Pembelajaran Berdiferensiasi, coaching adalah salah satu bentuk komunikasi yang bisa dibangun dalam kelompok kecil yang memerlukan perhatian khusus agar terpenuhi kebutuhan belajar individunya. Pendampingan dan pemberdayaan individu yang memerlukan pendekatan khusus akan terlayani dengan kegiatan coaching ini.

        Sejalan dengan hal tersebut di atas, coaching  juga sangat erat kaitannya dengan Modul 2.2 tentang Pembelajaran Sosial Emosional (PSE). Menumbuhkan Kompetensi Sosial Emosional (KSE) terhadap murid juga akan sangat berdampak bila digunakan dengan paradigma coaching. Seperti halnya kesadaran penuh (mindfulness) bisa digunakan oleh coach maupun coachee agar dalam kondisi hadir sepenuhnya (presence) saat melakukan percakapan coaching sehingga proses pemberdayaan dan penggalian potensi bisa berjalan dengan baik.

        Dalam sebuah jurnal di https://primary.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPFKIP/article/view/9189 memuat hasil penelitian yang dilakukan Erik Wahyudi dkk, di dalam jurnal tersebut memuat sebuah penelitian tentang supervisi akademik berbasis coaching MORTITAR yang merupakan akronim dari Mitra, Orientasi, Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, Tanggung Jawab, Refleksi yang hampir serupa dengan coaching dengan alur TIRTA. Adapun hasilnya menunjukkan adanya peningkatan kinerja pembelajaran guru SD di Kecamatan Nalumsari Kabupaten Jepara. Oleh karena itu, supervisi akademik berbasis coaching merupakan sebuah praktik baik yang bisa diterapkan dalam dunia pendidikan.

0 comments:

Post a Comment