Jurnal Refleksi Modul 2.3

 Pada kesempatan kali ini, saya akan melakukan refleksi pembelajaran dalam modul 2.3 dengan menggunakan model 5M yang diadaptasi dari Model 5R (Bain, dkk, 2002 dalam Ryan & Ryan, 2013).

Mendeskripsikan (Reporting)

Dalam mempelajari Modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Akademik, saya mendapatkan banyak hal baru. Selama ini saya mengenal supervisi sebagai sebuah kegiatan yang kurang disukai oleh guru karena ada penilaian yang akan mengukur kemampuan mengajar dan membuat administrasi pembelajaran yang seringkali seperti menghakimi guru tentang kualitas mengajar tanpa ada solusi yang ditawarkan.

Setelah mempelajari tentang coaching, perbedaan coacing dengan mentoring, konsultasi, maupun konseling saya merasa adanya unsur kesetaraan, keterbukaan, dan pemberdayaan di dalamnya yang akan membuat supervisi bukan lagi sekedar evaluasi untuk menilai apa yang terjadi di masa lalu tetapi justru fokus pada apa yang ada di masa mendatang dan menggali potensi diri. Hal ini terasa sangat menantang untuk diterapkan di sekolah.

Saya juga belajar berkolaborasi dengan rekan CGP baik secara daring maupun luring untuk melatih kompetensi coaching. Kami melakukan praktik coaching dengan alur percakapan TIRTA (Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, Tanggung Jawab). Hal ini untuk melatih kompetensi coaching antara lain Kehadiran Penuh (Presence), Mendengarkan Aktif, Mengajukan Pertanyaan Berbobot.

Merespon (Responding)

Apakah melakukan praktik coaching itu mudah? Tentu tidak semudah yang dibayangkan. Dalam mempraktikkan coaching tentu saya dihadapkan pada tantangan baru saat menerapkan teori yang saya dapat. Mengajukan pertanyaan yang sudah dirancang bisa saja berkembang sesuai kondisi dan jawaban coachee.

Selain itu, menjaga agar tidak muncul pikiran melabel/menilai, menghakimi coachee juga perlu dilatihkan agar tidak terjebak dalam suasana emosi yang mucul saat percakapan terjadi. Hal penting lainnya adalah perlunya latihan dan praktik untuk melakukan percakapan dengan alur TIRTA agar terarah sesuai tahapannya.

Mengaitkan (Relating)

Saya percaya bahwa setiap manusia sebenarnya punya petensi dalam dirinya. Tapi terkadang karena kondisi tertentu membuat potensi tersebut tidak muncul. Perlu sebuah cermin agar kita bisa melihat diri kita dengan jelas. Oleh karena itu, coaching yang memiliki paradigma pemberdayaan (menggali potensi diri) ini sangat sesuai untuk digunakan. Coach itu ibarat cermin bagi coachee untuk melihat potensi diri dengan jelas.

Menganalisis (Reasoning)

Dalam hal menjadi coach, saya merasa harus memiliki ketrampilan lebih dalam hal mengajukan pertanyaan berbobot dalam setiap tahapan alur percakapan TIRTA sehingga bisa menggali potensi coachee dan membantunya untuk lebih terbuka dalam menyampaikan informasi.

Dalam melakukan praktik coaching di ruang kolaborasi maupun dalam kegiatan demonstrasi kontekstual misalnya, terkadang saya menghadapi situasi lupa akan pertanyaan yang harus saya ajukan dalam setiap tahapan di alur percakapan TIRTA.  Hal ini dikarenakan kurangnya latihan praktik coaching sehingga dalam situasi tersebut saya masih memerlukan rancangan kegiatan dan pertanyaan yang akan diajukan dalam percakapan Coaching.

Merancang ulang (Reconstructing)

Dalam kegiatan Aksi Nyata maupun praktik coaching di sekolah nanti, saya akan membuat rancangan pertanyaan dalam setiap tahapan percakapan TIRTA sehingga percakapan yang akan saya lakukan dalam kegiatan Coaching untuk Supervisi Akademik akan berjalan natural seperti air yang mengalir dan mampu menggali potensi coachee yang saya dampingi.

Selain itu, berlatih untuk membuat pertanyaan berbobot adalah langkah serius yang harus segera saya lakukan agar dalam melakukan praktik coaching saya bisa mengajukan pertanyaan yang sesuai.

0 comments:

Post a Comment